Selasa, 18 Agustus 2015

Begitulah

Seperti lagu tanpa irama
Seperti lagu tanpa suara
Seperti lagu tanpa kata


Begitulah kita.

Orang yang Menyerah

"Apa yang ingin kau ketahui?
Mengapa orang yang menyerah itu harus dimarahi?
Memangnya di dunia ini hanya ada orang-orang sukses?
Jadi, mereka yang menyerah harus diejek?
Kenapa? Kenapa?
Bagiku, betapa susahnya menyerah."

Cuplikan dialog Dong Woo dalam Film Twenty.

Selamat Hari Anak, Happy Children!

Anak-anak lebih mudah tertawa bukan karena mereka belum mengenal dunia tapi karena mereka menempatkan keberanian akan kebahagiaan lebih daripada sekedar rasa takut akan rasa sakit.

Even the simple things have a lasting impact!

Kadang kita lupa bahwa anak bukan manusia dewasa dalam ukuran mini. Tersenyumlah untuk mereka agar mereka terbiasa tersenyum pada dunia ;)

Pengajar Muda : bukan sekedar angka-angka sederhana

Semoga tulisan ini dapat dipahami niat baiknya ;)

Pengajar Muda, sebutan untuk Guru Masa Kini yang mengabdikan dirinya untuk mengajar di pelosok negeri. Ada banyak program pemerintah maupun non-pemerintah yang menaungi atau mewadahi ambisi pemuda di seluruh negeri untuk ikut ambil bagian dalam program mengabdi satu tahun tersebut. Sebut saja yang populer di kalangan mahasiswa UPI yaitu program SM3T, program bapak Anies Baswedan sebelum menjadi menteri pendidikan dn kebudayaan yaitu Indonesia Mengajar dan program-program lain yang bisa anda temukan sendiri di situs pencarian google.com. Setiap program memiliki ciri khas-nya tersendiri namun saya menulis bukan untuk memaparkan ciri khas tersebut. Ini hanya hasil refleksi saya setelah mendapatkan pertanyaan dan pernyataan baik berupa pujian maupun sindiran tentang menjadi Pengajar Muda.

Tak banyak yang tahu program SM3T, Indonesia Mengajar dll. Namun ada beberapa kesamaan di antara kalimat yang orang lain sampaikan. Misalnya "Kenapa gak daftar SM3T aja?", "Mau daftar IM lagi gak?", "Ih, berarti keren banget ya IM. Kamu aja kalah!", "Gapapa, daftar SM3T aja kalau IM gak lolos atau program yang khusus ke Papua sama Halmahera.", "Tuh, coba kalau mau daftar SM3T pasti kamu lolos. Ngebet banget sih sama IM!", "Bukannya mau ke pelosok negeri? Tuh temen mau pergi, bukan rezeki kamu.", "Jika niatnya mencerdaskan bangsa, di Bandung juga banyak. Dimanapun kamu berada jadilah bermanfaat!" dan "Bukan berarti anda tidak layak tapi kami menyusun daftar kandidat dari yang paling cocok dengan program ini."

Barangkali anda (yang membaca) memiliki persepsi sendiri akan hal yang saya tulis di atas tersebut. Saya santai saja bukan berarti tak memikirkan hal-hal tersebut. Saya pikir beberapa orang yang menyampaikan pernyataan dan pertanyaan tersebut jelas tidak tahu perbedaan sistem rekrutmen SM3T dan Indonesia Mengajar. Serta entah mengapa ada saja orang yang senang menjatuhkan orang lain dengan kabar bahagia orang lain.

Jika saya sekarang sama dengan saya di bulan Januari, saya pasti akan merasa terpojokan dan terpuruk. Merasa paling gagal, tidak berguna dan putus asa. Merasa diri sendiri adalah satu-satunya pendaftar yang tidak lolos. Namun itu dulu.

Hari ini saya sadar betul akan pilihan saya dan akan kepuasaaan hati saya. Saya tidak sendiri, ada 10.000 pendaftar dari seluruh wilayah Indonesia, putra-putri kebanggan bangsa yang memilih untuk ikut serta mencerdaskan anak bangsa di pelosok negeri selama setahun. Meninggalkan kehidupan nyamannya. Setidaknya saya bertemu 18 kandidat lain dari 290 kandidat terpilih yang lolos seleksi tahap 1. Saya menemukan banyak orang dengan sejuta harapan digenggamannya. Lalu, mengapa saya harus merasa 'remeh'? Bukankah itu sama saja dengan meremehkan 220 kandidat lain yang juga tidak lolos tahap 2 (?). Padahal saya sendiri tu bagaimana hebatnya mereka.
Saat kesempatan kedua datang dengan perjuangan yang berbeda namun sama harapannya, saya berhasil lolos 195 besar dari 8000 pendaftar. Kali ini saya tidak meremehkan diri sendiri. Karena essay yang dibuat berbeda dengan essay seleksi sebelumnya. Dulu saya benar-benar ingin masuk tes MCU namun kali ini saya benar-benar cukup puas dengan 195 besar. Karena lagi-lagi saya bertemu 20 pemuda menginspirasi dari berbagai daerah.

Kami memang tidak lolos namun keberhasilan kami sampai tahap ini pun bukan suatu kebetulan semata. Ini bukti nyata Indonesia masih punya banyak stok pemuda yang peduli.

Saya tidak mendafatr SM3T bukan karena menganggapnya terlalu mudah tapi karena saya tidak yakin dapat melewati seleksi administrasi dan tes CAT. Jadi, anda pun tidak berhak meremehkan teman-teman saya yang mendaftar SM3T. Tidak pula membandingkan kami ;)

Pilihan hidup kami berbeda. Saya bisa saja memilih daftar SM3T seperti senior saya yang juga gagal IM, mencoba program khusus Halmahera-Papua-Rote seperti teman kandidat IM X atau seperti teman kandidat IM XI yang mencoba hingga 3 kali dan akhirnya dipanggil. Tapi saya memilih disini, biarlah ambisi ke pelosok negeri itu saya simpan sampai kesempatan besar datang, dengan biaya sendiri dan ditemani suami (haha).

Saya pikir ini saatnya untuk saya menerima kenyataan bahwa tubuh saya tak bisa lagi diajak bernegosiasi demi ambisi diri. Saya pun menyadari kepribadian dan kemampuan diri masih sangat perlu pembenahan sana-sini ;)

Saya yakin yang meremehkan kandidat pengar muda SM3T dan Indonesia Mengajar padti tidak pernah tahu perjuangan para kandidat.

Kebohongan

Dan kebenaran yang kutolak, aku bisa menerima kebohongan itu.
Kupikir, kebohongan ini entah bagaimana akan menjadi kebenaran.
Tapi, tak peduli seberapa erat kututup mata dan telingaku.
Dan tak peduli betapa aku menolaknya...
Kebenaran akan masih tetap berdiri di tempatnya.

Sekarang saatnya untuk bangun dari kebohongan itu
Tak peduli seberapa mengerikan dan beratnya kebenaran itu...
Sekarang saatnya untuk menghadapi kenyataan.

Choi Dal Po/Ki Ha Myung dalam drama korea Pinocchio

Dua Pilihan

Aku benar-benar ingin mendobrak batas!

Tapi aku hanya punya dua pilihan:

Menikmati setiap kehausan akan pengalaman
Atau
Menikmati setiap kepuasan akan keadaan

Dengan mempertimbangkan .... (rahasia).

Ketika itu, Aku...

Ketika senja bernada cinta
Ketika aurora berirama rasa
Ketika matahari bermelodi hati
Dan ketika pelangi bernyanyi mimpi


Ketika itu,
Kau akan tahu
aku telah pergi.


Tak perlu kau cari
Tak bisa kau temui
Jiwaku lelah berdiri
Ragaku telah mati

Perjalanan Pulang (tanpa) Kembali

Membuka pertemuan pagi ini di sekolah, seperti biasa ketua yayasan akan mengajak kami untuk mendoakan mereka (siapapun itu) yang tak lagi bersama kami di bulan Ramadhan tahun ini. Maka kepala sekolah pun melantunkan do'a dengan suara merdunya. Momen tersebut akan terasa sangat biasa, barangkali bagi mereka yang tak pernah merasa atau menyadari bahwa dirinya telah ditinggalkan dan akan ada saat dirinya pun ikut meninggalkan. Bagi saya pribadi, ada sebersit perih dan tetesan air mata yang mengalir tanpa izin. Karena saya sedang menerima kenyataan bahwa memang telah banyak orang (yang saya sayani) tak lagi dapat bersama di Ramadhan tahun ini. Entah dengan alasan apapun.

Di akhir pertemuan saya mendapatkan hadiah buku yang berjudul "Perjalanan Pulang (tanpa) Kembali" karya Miftah Fauzi Rakhmat. Barangkali kita sudah bisa menebak isi tulisan didalamnya. Ya, catatan-catatan spiritual tentang hidup penuh berkah dan kematian. Saya persembahkan kehidupan yang lebih bahagia ini untuk mereka yang tak lagi dapat menikmati Ramadhan bersama, agar kepergiannya tak sia-sia. Saat yang pasti nanti akan datang ketika saya harus menyusul pulang. Maka berbahagialah bagi yang ditinggalkan agar saya menanti dengan bahagia disana ;)

Ayunan Hijau Kostan, senja di awal bulan Juli.

"Tidak boleh berteman!"

Betapa saya menyadari akan muncul pendapat yang berbeda tentang saya dari beberapa orang. Hanya karena saya begitu ingin bertanya:

"Mengapa berteman dengan mereka yang berbeda pandangan dalam beribadah seolah lebih haram daripada berteman dengan mereka yang berbeda Tuhan?"

Padahal saya masih beribadah dengan cara yang kakek dan ibu saya ajarkan. Saya pun tidak pernah memberikan ucapan selamat hari raya agama pada mereka yang berbeda Tuhan.

Dulu ketika kecil begitu kentara pertemanan "sesuai ORMAS Islam", beranjak kuliah pertemanan "sesuai Mahzab" dan setelah bekerja mulai menemukan pendapat miris tentang pertemanan "seorang Sunni dan seorang Syiah". Lalu, tak menemukan permasalahan berteman dengan mereka yang berbeda Tuhan.

Jadi, ini mulai terasa aneh. Ukhuwah Islam hanya seperti itukah?
Lalu kemarin saya mendengar kalimat: 
"Sesesat-sesatnya sebuah aliran, selama itu tidak menduakan Allah SWT dan tetap mengakui Muhammad SAW sebagai Nabi akhir zaman maka kita tidak berhak men-Judge mereka sesat."

Ah, iya. Saya jadi terpikir: Siapa kita sampai berani menghakimi seseorang sesat dan memberikannya hukuman sosial?
Karena saya belum pernah mendengar dalil tentang pelarangan tersenyum pada mereka yang berbeda cara ibadah.
Juli-2015, barangkali pendapat ini akan berubah seiring keilmuan yang dipelajari.