Rabu, 21 Oktober 2015

MOVE ON!

Pindah nulis alias curhat ke Blog Lain dan Lainnya

Senin, 12 Oktober 2015

Mengenang Waktu: Kegagalan Prioritas

Suatu masa di kampus kala itu, sosok ini terasa benar-benar ku kenal. Ia yang memilih untuk berkontribusi dengan mengambil bagian dalam banyaknya kegiatan tapi lupa mengurus kesehatan. Ia yang lebih memilih untuk sibuk di kampus dengan kawan yang dianggap sebagai keluarga daripada pulang untuk bersilaturahim dengan keluarga.

Suatu hari di masa kini, sosok itu bertanya pada cerminan dirinya. Apa yang telah terjadi dalam diri? Mengapa baru disadari? Bahwa waktu telah habis untuk keegoisan diri.

Tidak ada yang salah dengan kegiatannya.
Tidak ada yang salah dengan usahanya.
Hanya satu hal kesalahan dalam hidupnya,
merasa dirinya penting untuk ada.
Sehingga merasa bersalah jika tak hadir padahal orang lain belum tentu menginginkan kehadirannya dan belum tentu membutuhkan kemampuannya.
Belum tentu.


Yang tentu adalah waktu.
Waktu yang dapat menjadi hadiah terbaik untuk orang-orang yang menginginkan keberadaannya dan membutuhkan kemampuannya.


Dina Ujung Kulon Rorompok, 150815.

Hanya Menunda

Aku pernah begitu dekat dengan mimpiku?
Aku terhenti, terpuruk kaku.


Lalu, apa salahnya jika hari ini aku memilih berhenti berlari?

Aku tak melupakannya,
aku hanya membiarkannya terbawa hempasan perasaan.

Sebagian ku tunda
dan sebagian lagi ku coret.
Begitu mudah,
nyatakan terlalu mudah.


Ada batas yang tak bisa ku didobrak,
sekalipun logikaku meneriaki isi tengkorak.

Tinggalkan aku tanpa komentar apapun,
atau temani aku dengan sejuta semangatmu.


Bahkan sanguinis dan koleris yang terbiasa bersamapun, kini rapuh.
Salah satu sisi terkikis melankolis dan sisi lainnya tergeruk plegmatis.


Kau tahu aku suka membaca,
kau pun tahu
belajar merupakan pelarianku
akan gelapnya pengetahuan
dan sendunya hidup.


Kau tahu betapa aku ingin memberi,
biarpun seadanya menginspirasi.

Aku inginkan semua teori dan pengalaman itu!

Bahkan di tempatku berdiam diri hari ini,
aku hanyalah pecundang!
Yang selalu gagal dalam pekerjaannya.


Aku hanya menjaga jarak dengan kekuranganku.
Atau memang variabel dan koefisien keberhasilanku yang masih saja berbeda dengan orang lain, bisa jadi.

Di balik jeruji jendela lantai 2, menutup lembayung di 11 Agustus 2015.

Menulis

Karena aku tetap akan menulis,
dengan atau tanpa ada yang membaca.

Analogi Pedas

Suatu hari di masa lalu, ada seorang teman baik yang memberiku makanan. Menurutku Ia membuatnya sepenuh hati jadi ku makan saja, sekalipun rasanya pedas. Ia menangkap basah keringat di wajahku, butir air mata yang menggantung di ujung mataku dan ingus yang berusaha aku tahan. Kemudian Ia menyadari satu hal dan berusaha memastikannya padaku dengan bertanya, "Kamu kepedesan Mby? Aku kira kamu suka pedes loh." dan aku hanya tersenyum. Akhirnya aku minum sebanyak yang aku sanggup untuk melenyapkan rasa pedas di lidah dan panas di perut. Lalu ia berkata, "Aku gak tau kalo kamu gak suka pedes. Kamu gak bilang. Kan gak usah dimakan tau gitu mah."

Pada suatu masa di hari-hari yang telah jauh berlalu, aku makan bersama seorang kawan baik. Ku beranikan diri bertanya, "Boleh gak saus tomatnya buat aku? Gantian sama saus cabe, nih!". Ia menjawab datar, "Sok aja!". Ku pikir Ia paham namun saat aku minum ke sekian kalinya, ternyata Ia baru berusaha paham. Katanya, "Kamu kebanyakan minum, cuma saus tomat doang mah gak pedes atuh!". Kemudian dengan santai ku balas sembari tertawa kecil, "Buat kamu gak, ya aku mah gini. Makanya tadi minta gantian". Tapi ternyata responnya di luar dugaanku, "Ya kalau gitu gak usah pake saus sekalian, lagian cuma saus tomat aja segitunya. Rempong banget sih!".

Ah, ternyata begitu ya!. Entah siapa yang menyebutkan adanya kolerasi antara penyuka pedas dengan sifat galaknya atau kolerasi antara penyuka pedas dengan ketidakrempongannya. Aku pernah memaksakan diri makan pedas agar dapat makan yang sama dengan teman-temanku, sayangnya aku berakhir diare berhari-hari. Hari ini memang kemampuan perutku menerima pedas sudah lebih baik kecuali di pagi hari. Ups maaf, tulisan ini bukan tentang rasa pedas dari cabe tapi pedasnya respon seseorang.

Pada kejadian pertama, aku tahu Ia merasa bersalah dan aku tahu dia telah menyiapkannya sepenuh hati. Bukan salahnya jika perutku sakit karena sebenarnya aku punya kesempatan untuk menolak dan seharusnya aku bisa menyampaikan penolakan secara halus. Namun pada kejadian kedua, menurutku tidak penting pada saat itu membahas betapa rempongnya aku yang terlambat menyukai pedas sehingga perutku tak terbiasa menerimanya. Aku pikir Ia bisa saja berkata lebih santai tanpa perlu membandingkan kemampuannya makan pedas dengan kemampuanku.

Semua ini seperti saat kau tak bisa mengungkapkan hal yang kau inginkan karena kau tak ingin menyakiti perasaan temanmu padahal bisa jadi Ia justru lebih senang jika kau mengatakannya. Namun hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi orang yang hanya fokus untuk membalas percakapan bukan memahami percakapan.

Karena the biggest communication problem is we don't listen to understand but we listen to reply, bisa jadi termasuk yang menulis sendiri ;)

catatan: Aku adalah sosok imaji dan kisahnya pun hanya ilusi.

"Siapa yang Paling Dekat?"

Suatu hari di selasar Masjid As-Sakinnah, saya kembali menerapkan sosiometri untuk melihat perkembangan sosialisasi antar pengurus beda angkatan. Di antara semua pertanyaan, saya menyelipkan satu pertanyaan, "Siapakah Kakanda (sebutan untuk senior) yang kalian anggap paling dekat atau akrab?".

Setelah melihat hasil jawaban, saya terkejut. Karena beberapa orang yang saya pikir akan menyebut nama saya, ternyata tidak. Tapi saya lebih terkejut atau bisa dibilang tertarik dengan satu jawaban dari seorang Adinda (sebutan untuk junior). Kurang lebih seperti ini jawabannya:
"Saya sebenarnya ingin menuliskan Kakanda Febby tapi saya tidak yakin Kakanda Febby juga merasa dekat dengan saya."
Touching!
 
Hari ini, akan saya rubah pertanyaan untuk setiap Adinda yang memilih saya, "Masih dekatkah kita?".


Yup, ini bisa jadi sebuah analogi. Jika saja saya balik pertanyaan untuk diri sendiri sebagai pimpinan pada saat itu, "Siapakah Adinda yang paling dirasa dekat/akrab?". Saya pun tersadar bahwa sulit sekali memilih satu nama di antara banyaknya Adinda yang saya rasa akrab dan ternyata lebih sulit lagi memilih Adinda yang juga sekiranya merasa akrab dengan saya. Akrab bukan karena amanahnya tapi memang karena kepribadiannya. Sulit!

Maka analogi ini dapat kita gunakan untuk hal serupa lainnya. Seperti:
"Siapakah sahabat yang paling dekat dengan kita?"
Bisa saja kita menyebutkan satu nama tapi apakah yang disebut namanya merasakan hal yang sama?

Atau
"Sebutkan nama-nama teman yang akrab denganmu?"
Sekalipun kita mengisi dengan 1000 nama teman, belum tentu mereka yang disebutkan pun merasa akrab dengan kita.


Namun sekali lagi kawan, ini pertanyaan memang untuk diri sendiri. Tak apa jika yang disebut tak merasa. Toh, kita tak merugikan mereka ;)

Maka wajar jika banyak lelaki yang memiliki keberanian pun tetap membutuhkan kepastian. Ah, ini bukan kode!

"Bagaimana Kabar Ibadahmu, Mby?"

Mungkin tahajud kita terlalu sedikit...
Mungkin amal baik kita terlalu ringan...

***

Setidaknya masih ada dalam bagian diri yang menyadari hal tersebut, sekalipun telah banyak kegiatan majelis ditinggalkan dan ibadah berantakan.

Ingin Pulang Ke Rumah

IAI: Saat orang tua berkata... "Pulanglah nak! Ibu Bapak perlu kamu"
FNF: aku ingin pulang, ke sebuah tempat yang disebut rumah dan disambut orang tua.
IAI: Mby :')
***
Saya yakin sahabat-sahabat saya tahu ada hal yang dulu sering saya hindari untuk dibahas. Tapi hari-hari telah berganti, sejauh apapun saya berlari. Kenyataan itu akan tetap menempel pada tempatnya.

Saya bukan seorang yatim piatu, hanya saja keadaan memperlihatkannya seperti itu. Saya tidak suka sekalipun saya mensyukurinya. Dulu semua terasa normal, normal sama dengan orang lain pada umumnya. Sekarang semua mulai terasa berbeda dan saya tidak boleh lagi berpura-pura seolah sama saja.

Alhamdulillah saya masih punya tempat untuk pulang dan keluarga untuk dikunjungi. Maka nikmat mana lagi yang saya dustakan?

Tidak perlu memasang wajah bersedih ;)
Biarkan saja, sesaat, kali ini saja.
Aku bernyanyi lagu "Hanya Satu Pintaku" by Mocca.

Mimpi

Menurut saya wajar bagi kami bercita-cita S2 dengan beasiswa atau biaya pribadi, menikah muda, menjadikan hobi sebagai sumber rezeki dan bekerja bersama anak-anak. Dengan pribadi yang sering ragu ini, Allah SWT menghadiahi saya teman-teman bersemangat yang selalu senang untuk mengingatkan sekalipun ada juga yang memilih untuk pergi meninggalkan. Tapi semangat dari orang-orang di sekitar sangat ampuh mencambuk sisi ambisius kita.

Jika kita tidak berani bermimpi, setidaknya tidak perlu meremehkan mimpi orang lain ;)

Zae said,
Bermimpilah setinggi-tingginya sekalipun kamu terjatuh nanti. Akan ada keindahan yang kamu lihat dari ketinggian.

Senang

"Tteh zae inget kta2 tteh, ada saatnya kita jadi pemateri bukan moderator lagi. And it's true hahaha" ~Zaenal Abidin, my lil bro and still cute.

Senang melihat orang lain bersemangat dengan segala impiannya. Perubahan sedikit demi sedikit seiring waktu. Namun ketika bercermin, saya justru menemukan sosok yang tidak diinginkan. Sosok yang dulu sok menginspirasi ini sekarang tambah pemalas. Tertinggal oleh yang lain.
Semesta tak pernah memaksa, hanya kau yang selalu meminta akan sesuatu yang tak sanggup diberikan oleh hidup.

Padahal langit masih di atas dan laut masih di bawah. Padahal hidup masih memberikan waktu untuk tidur dan kembali bangun.

Tapi lutut itu masih saja kau tekuk, di antara dinding kamar kau merajuk...

Rindu Manusia dari Barat pulau Jawa

Ku tatap timur dari balik jeruji jendela, dengan sinarnya sang bulan menyapa.

Apakah kau menatap bulan yang sama di langit senja?
Ataukah mendengar semilir angin dari barat?


Bisa jadi kita sedang menatap senja yang sama atau kau hanya sedang mendengar bisik rindu dari seorang manusia di tanah barat pulau jawa.

Azura Lazuardi

Lima Tahun Lagi

5 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kita yang ingin hidup lebih lama.
5 tahun bukanlah waktu yang cukup untuk melihat anak kecil tumbuh dewasa.

Dalam 5 tahun seorang pendiam bisa jadi seorang pembicara.
Dalam 5 tahun seorang perempuan bisa jadi seorang wanita.
Dalam 5 tahun seorang pelajar bisa jadi pengangguran.
Dalam 5 tahun sebuah keluarga harmonis bisa jadi berakhir tragis.
Dalam 5 tahun seorang pemuda bisa jadi seorang pria dewasa.
Dalam 5 tahun seorang perawat bisa jadi seorang pasien.
Dalam 5 tahun seorang terkasih bisa jadi yang terlupakan.
Dalam 5 tahun seorang kawan bisa jadi seorang asing.
Dalam 5 tahun banyak orang asing bisa jadi yang dirindukan.

Dalam 5 tahun akan jadi apa diri kita?
Dalam 5 tahun akan jadi apa hidup kita?
Dalam 5 tahun, akankah masih ada kita?

Dalam 5 tahun, akankah giliran kita yang pergi?

7.07 di hadapan gelapnya langit malam dalam gema adzan yang berkumandang.

Terus Harus Update Apa?

Aku membaca tulisanku, tak semua yang ku tulis sama dengan yang ku rasakan. Karena memang begitulah seorang penulis. Seamatir apapun.

Mereka yang tak mengenal kita, entah mengapa mudah sekali menerka atau memang senang menduga.
Seolah menjadi yang paling mengerti cerita dibalik tulisan kita. Dan dengan bangganya memberi nasehat agar kita tak selalu mengumbar perasaan dan cerita di media sosial.

Ku dengarkan, ku pahami, ku sepakati lalu ketika nasehat itu berubah kesan menjadi cercaan atau cemoohan maka saatnya ku abaikan.

Bagi sahabatku, ini bukan hal yang baru. Mereka tahu kapan saat aku benar-benar mengumbar perasaanku dan kapan saat aku membagikan inspirasiku.

Kini aku membaca kembali. Serasa sebelumnya tak pernah menuliskan:
"Ya Allah aku sakit hati. Semoga engkau membalas perbuatanya!"
"Lagi gak punya uang tapi dapet banyak undangan. Uh!"
"Bosen di kamar terus. Ada yang mau ngajak main gak ya?"
"Ih kok FB jadi sepi gini. Lagi pada mudik kali ya jadi gak ada sinyal."

Dan banyak kalimat curhatan 'masa kini' lainnya.

Saya bukan publik figure jadi pencintraan bukan sesuatu yang penting untuk saya lakukan. Namun bukan berarti saya bisa seenaknya menyebut nama/merk dengan gamblang di media sosial terutama jika itu menyangkut nama baik. Bukankah kita semua begitu? Ada keluarga, sahabat, rekan kerja dkk yang bisa saja salah paham dengan postingan kita.

Ini bukan pencitraan tapi memang begini gaya menulis saya. Dibilang ambigu, itu kan dari sudut pandang Anda. Siapa tahu dari sudut pandang orang lain, semua benar-benar jelas untuk satu tujuan. Dibilang kaku, mungkin Anda hanya membaca sebagian tulisan saya. Saya terlalu ekspresif untuk jadi seseorang yang kaku.

Terimakasih telah membaca dan berusaha memahami ;)

7.24 pm - 22.7.2015