Senin, 12 Oktober 2015

Terus Harus Update Apa?

Aku membaca tulisanku, tak semua yang ku tulis sama dengan yang ku rasakan. Karena memang begitulah seorang penulis. Seamatir apapun.

Mereka yang tak mengenal kita, entah mengapa mudah sekali menerka atau memang senang menduga.
Seolah menjadi yang paling mengerti cerita dibalik tulisan kita. Dan dengan bangganya memberi nasehat agar kita tak selalu mengumbar perasaan dan cerita di media sosial.

Ku dengarkan, ku pahami, ku sepakati lalu ketika nasehat itu berubah kesan menjadi cercaan atau cemoohan maka saatnya ku abaikan.

Bagi sahabatku, ini bukan hal yang baru. Mereka tahu kapan saat aku benar-benar mengumbar perasaanku dan kapan saat aku membagikan inspirasiku.

Kini aku membaca kembali. Serasa sebelumnya tak pernah menuliskan:
"Ya Allah aku sakit hati. Semoga engkau membalas perbuatanya!"
"Lagi gak punya uang tapi dapet banyak undangan. Uh!"
"Bosen di kamar terus. Ada yang mau ngajak main gak ya?"
"Ih kok FB jadi sepi gini. Lagi pada mudik kali ya jadi gak ada sinyal."

Dan banyak kalimat curhatan 'masa kini' lainnya.

Saya bukan publik figure jadi pencintraan bukan sesuatu yang penting untuk saya lakukan. Namun bukan berarti saya bisa seenaknya menyebut nama/merk dengan gamblang di media sosial terutama jika itu menyangkut nama baik. Bukankah kita semua begitu? Ada keluarga, sahabat, rekan kerja dkk yang bisa saja salah paham dengan postingan kita.

Ini bukan pencitraan tapi memang begini gaya menulis saya. Dibilang ambigu, itu kan dari sudut pandang Anda. Siapa tahu dari sudut pandang orang lain, semua benar-benar jelas untuk satu tujuan. Dibilang kaku, mungkin Anda hanya membaca sebagian tulisan saya. Saya terlalu ekspresif untuk jadi seseorang yang kaku.

Terimakasih telah membaca dan berusaha memahami ;)

7.24 pm - 22.7.2015

0 obrolan:

Posting Komentar