Senin, 12 Oktober 2015

Analogi Pedas

Suatu hari di masa lalu, ada seorang teman baik yang memberiku makanan. Menurutku Ia membuatnya sepenuh hati jadi ku makan saja, sekalipun rasanya pedas. Ia menangkap basah keringat di wajahku, butir air mata yang menggantung di ujung mataku dan ingus yang berusaha aku tahan. Kemudian Ia menyadari satu hal dan berusaha memastikannya padaku dengan bertanya, "Kamu kepedesan Mby? Aku kira kamu suka pedes loh." dan aku hanya tersenyum. Akhirnya aku minum sebanyak yang aku sanggup untuk melenyapkan rasa pedas di lidah dan panas di perut. Lalu ia berkata, "Aku gak tau kalo kamu gak suka pedes. Kamu gak bilang. Kan gak usah dimakan tau gitu mah."

Pada suatu masa di hari-hari yang telah jauh berlalu, aku makan bersama seorang kawan baik. Ku beranikan diri bertanya, "Boleh gak saus tomatnya buat aku? Gantian sama saus cabe, nih!". Ia menjawab datar, "Sok aja!". Ku pikir Ia paham namun saat aku minum ke sekian kalinya, ternyata Ia baru berusaha paham. Katanya, "Kamu kebanyakan minum, cuma saus tomat doang mah gak pedes atuh!". Kemudian dengan santai ku balas sembari tertawa kecil, "Buat kamu gak, ya aku mah gini. Makanya tadi minta gantian". Tapi ternyata responnya di luar dugaanku, "Ya kalau gitu gak usah pake saus sekalian, lagian cuma saus tomat aja segitunya. Rempong banget sih!".

Ah, ternyata begitu ya!. Entah siapa yang menyebutkan adanya kolerasi antara penyuka pedas dengan sifat galaknya atau kolerasi antara penyuka pedas dengan ketidakrempongannya. Aku pernah memaksakan diri makan pedas agar dapat makan yang sama dengan teman-temanku, sayangnya aku berakhir diare berhari-hari. Hari ini memang kemampuan perutku menerima pedas sudah lebih baik kecuali di pagi hari. Ups maaf, tulisan ini bukan tentang rasa pedas dari cabe tapi pedasnya respon seseorang.

Pada kejadian pertama, aku tahu Ia merasa bersalah dan aku tahu dia telah menyiapkannya sepenuh hati. Bukan salahnya jika perutku sakit karena sebenarnya aku punya kesempatan untuk menolak dan seharusnya aku bisa menyampaikan penolakan secara halus. Namun pada kejadian kedua, menurutku tidak penting pada saat itu membahas betapa rempongnya aku yang terlambat menyukai pedas sehingga perutku tak terbiasa menerimanya. Aku pikir Ia bisa saja berkata lebih santai tanpa perlu membandingkan kemampuannya makan pedas dengan kemampuanku.

Semua ini seperti saat kau tak bisa mengungkapkan hal yang kau inginkan karena kau tak ingin menyakiti perasaan temanmu padahal bisa jadi Ia justru lebih senang jika kau mengatakannya. Namun hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi orang yang hanya fokus untuk membalas percakapan bukan memahami percakapan.

Karena the biggest communication problem is we don't listen to understand but we listen to reply, bisa jadi termasuk yang menulis sendiri ;)

catatan: Aku adalah sosok imaji dan kisahnya pun hanya ilusi.

0 obrolan:

Posting Komentar