Suatu hari di masa lalu, ada seorang teman baik yang memberiku
makanan. Menurutku Ia membuatnya sepenuh hati jadi ku makan saja,
sekalipun rasanya pedas. Ia menangkap basah keringat di wajahku, butir
air mata yang menggantung di ujung mataku dan ingus yang berusaha aku
tahan. Kemudian Ia menyadari satu hal dan berusaha memastikannya padaku
dengan bertanya, "Kamu kepedesan Mby? Aku kira kamu suka pedes loh." dan
aku hanya tersenyum. Akhirnya aku minum sebanyak yang aku sanggup untuk
melenyapkan rasa pedas di lidah dan panas di perut. Lalu ia berkata,
"Aku gak tau kalo kamu gak suka pedes. Kamu gak bilang. Kan gak usah
dimakan tau gitu mah."
Pada suatu masa di hari-hari yang telah
jauh berlalu, aku makan bersama seorang kawan baik. Ku beranikan diri
bertanya, "Boleh gak saus tomatnya buat aku? Gantian sama saus cabe,
nih!". Ia menjawab datar, "Sok aja!". Ku pikir Ia paham namun saat aku
minum ke sekian kalinya, ternyata Ia baru berusaha paham. Katanya, "Kamu
kebanyakan minum, cuma saus tomat doang mah gak pedes atuh!". Kemudian
dengan santai ku balas sembari tertawa kecil, "Buat kamu gak, ya aku mah
gini. Makanya tadi minta gantian". Tapi ternyata responnya di luar
dugaanku, "Ya kalau gitu gak usah pake saus sekalian, lagian cuma saus
tomat aja segitunya. Rempong banget sih!".
Ah, ternyata begitu
ya!. Entah siapa yang menyebutkan adanya kolerasi antara penyuka pedas
dengan sifat galaknya atau kolerasi antara penyuka pedas dengan
ketidakrempongannya. Aku pernah memaksakan diri makan pedas agar dapat
makan yang sama dengan teman-temanku, sayangnya aku berakhir diare
berhari-hari. Hari ini memang kemampuan perutku menerima pedas sudah
lebih baik kecuali di pagi hari. Ups maaf, tulisan ini bukan tentang
rasa pedas dari cabe tapi pedasnya respon seseorang.
Pada kejadian
pertama, aku tahu Ia merasa bersalah dan aku tahu dia telah
menyiapkannya sepenuh hati. Bukan salahnya jika perutku sakit karena
sebenarnya aku punya kesempatan untuk menolak dan seharusnya aku bisa
menyampaikan penolakan secara halus. Namun pada kejadian kedua, menurutku
tidak penting pada saat itu membahas betapa rempongnya aku yang
terlambat menyukai pedas sehingga perutku tak terbiasa menerimanya. Aku
pikir Ia bisa saja berkata lebih santai tanpa perlu membandingkan
kemampuannya makan pedas dengan kemampuanku.
Semua ini seperti
saat kau tak bisa mengungkapkan hal yang kau inginkan karena kau tak
ingin menyakiti perasaan temanmu padahal bisa jadi Ia justru lebih
senang jika kau mengatakannya. Namun hal tersebut ternyata tidak berlaku
bagi orang yang hanya fokus untuk membalas percakapan bukan memahami
percakapan.
Karena the biggest communication problem is we don't
listen to understand but we listen to reply, bisa jadi termasuk yang
menulis sendiri ;)
catatan: Aku adalah sosok imaji dan kisahnya pun hanya ilusi.